
Nyatanya, ketika berbicara mengenai (persoalan) perfilman Indonesia, ada banyak hal selain isu pembajakan yang juga sama pentingnya untuk segera ditangani bersama. Dari sinilah awal mula rencana revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman mengemuka, sekaligus Panja (Panitia Kerja) Perfilman Komisi X DPR kemudian terbentuk.
Revisi Undang-undang
Sepuluh bulan kemudian, pada akhir April 2016, Panja Perfilman Komisi X DPR mengumumkan hasil kerjanya kepada publik. Salah satu sorotan Panja tertuju pada revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Dalam kesimpulannya, Panja dapat menerima usul revisi karena UU Perfilman memiliki beberapa kelemahan dalam pengaturan perlindungan dan penghormatan hak cipta film, pendidikan film, dan perlunya penguatan kelembagaan Badan Perfilman Indonesia (BPI).
Kesimpulan Panja menerima usul revisi UU Perfilman itu merupakan langkah baik sebab undang-undang tersebut memang impoten, tidak berdaya guna sama sekali, dan rumusannya tidak jelas. Kini, dua tahun sejak rencana revisi mengemuka, kabarnya revisi UU Perfilman ini sudah masuk dalam Prolegnas Perubahan, tapi belum ada tindak lanjut yang berarti. Kita masih harus mengawasi, dan jangan sampai lengah.
Insan perfilman perlu mengawal pekerjaan Panja Perfilman Komisi X baik melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) Kemendikbud maupun melalui BPI yang baru saja memiliki susunan pengurus baru untuk periode 2017-2020.
Literasi Media
Menurut Undang-undang Perfilman, film ditangani oleh kementerian yang menangani kebudayaan (dalam hal ini Kemendikbud). Sementara regulasi mengenai perfilman masih terus digodok di DPR, hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah soal pendidikan film.
Pendidikan film tak melulu mesti diartikan sebagai keharusan akan adanya lembaga, sekolah, atau institusi yang khusus mewadahi kegiatan mendidik dan mengajarkan pembuatan film secara profesional. Pihak-pihak swasta bisa bekerja jauh lebih efektif untuk mewujudkannya. Kemendikbud sebagai kepanjangan pemerintah tinggal mengakomodasi agar lembaga-lembaga pendidikan film dapat terlahir satu demi satu.
Dalam skala terkecil, ada hal lain yang tak kalah penting yang dapat dilakukan oleh Pusbang Film, BPI, atau pun Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), yakni bagaimana mengubah mindset agar kepercayaan atau rasa cinta masyarakat terhadap film Indonesia dapat diraih kembali dan tetap lestari. Hal itu penting karena soal pasar tak perlu dikhawatirkan lagi.
Kita memiliki potensi penonton yang luar biasa, dan mereka adalah berjuta-juta orang yang senang menonton. Masyarakat tidak bisa dipaksa untuk datang ke bioskop. Seruan seperti, "Ayo nonton film Indonesia!" praktis tidaklah efektif. Dalam mengupayakan agar film Indonesia terus mendapatkan dukungan, dan agar masyarakat melihat bahwa makin banyak film Indonesia dibuat dengan standar produksi yang mumpuni, diperlukan literasi media.
Literasi media berperan memperkenalkan apa sebenarnya film itu, bagaimana menonton sekaligus membaca film, mengapresiasi film, dan sebagainya. Kemendikbud bersama BPI dan Bekraf mestinya berperan aktif mewujudkannya.
Pada dasarnya film adalah produk industri. Masalahnya bukanlah tidak ada film bagus yang dibuat, melainkan sedikitnya jumlah orang yang menontonnya. Film bagus tidak dengan sendirinya laku. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya literasi media dan dukungan pemerintah yang juga minim terhadap dunia perfilman. Pemerintah perlu lebih memperhatikan peran penting film bagi kehidupan berbangsa.
Soal Tata Edar
Selain masalah-masalah di atas, persoalan tata edar film juga perlu diatur dengan mekanisme yang baik agar ada kepastian sebuah film mendapatkan layar dan diperlakukan secara adil oleh pasar. Ya, film-film Indonesia perlu mendapatkan kepastian jumlah layar dan diperlakukan secara adil oleh pasar.
Ada sekitar 218 bioskop dengan 939 layar (data per Maret 2015) dengan penyebaran yang tidak merata. Dari 34 provinsi, hanya 13 (52 kota) yang memiliki bioskop, sedangkan 21 provinsi sisanya (462 kabupaten/kotamadya) belum terjamah bioskop. Tren sepuluh tahun terakhir, ketika film nasional beranjak dari angka 10-20 judul per tahun hingga kini melebihi seratus judul per tahun, jumlah film impor yang beredar di bioskop tetap pada kisaran 200 judul per tahun.
Maka, dengan 939 layar yang tersedia, jumlah film impor tetap sama, tetapi produksi film nasional meningkat, tentu saja pasar film Indonesia menjadi semakin sempit! Hal-hal inilah, di antara sekian banyak persoalan, yang perlu dicamkan dan dijadikan rujukan revisi UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Mengingat Kemendikbud hanya memberikan satu alokasi Kasubdit yang menangani film, tidaklah berlebihan bila kita mengharapkan Mendikbud yang ditugasi menangani perfilman harus benar-benar terpanggil untuk menjawab segala persoalan perfilman ini. Kita perlu orang-orang yang memiliki keberanian dan integritas serta tidak berbasa-basi dalam mengurusi film.
Film adalah komoditas. Lihatlah Amerika dengan bisnis Hollywood-nya, atau lihatlah Tiongkok, mereka yang paling berhasil di dunia ini menjadikan film sebagai komoditas. Film yang pada mulanya adalah produk budaya kemudian menjadi produk ekonomi --lantas bagaimana siasat kita, bagaimana kita mau membagi fokus antara film sebagai produk budaya dan film sebagai produk ekonomi?
Sehubungan dengan revisi Undang-undang Perfilman, selain mengakomodasi berbagai tuntutan insan perfilman, kita juga perlu mengajukan pertanyaan ini: Apa target yang dapat kita realisasikan dalam waktu dekat, mana yang paling esensial untuk (kemajuan) industri perfilman Indonesia?
Shandy Gasella pengamat film
(mmu/mmu)
Comments
Post a Comment