
"Suratnya saya belum baca. Saya sedang di Megamendung (Bogor, Jawa Barat) dari kemarin," kata Suhadi ketika dihubungi, Jumat (25/8/2017).
Suhadi mengaku belum tahu apakah Ketua MA sudah menerima surat dari Jaksa Agung atau belum karena dia sedang di luar kota. Terkait fatwa yang diminta, Suhadi menyebut hal tersebut nanti akan dibahas oleh Ketua MA.
"Kalau itu (surat dari Jaksa Agung) tergantung Ketua MA bahasnya bagaimana," ujarnya.
Menurutnya, MA belum tentu akan mengabulkan permintaan Prasetyo untuk mengeluarkan fatwa. Sebab, bisa saja nantinya MA hanya mengeluarkan petunjuk.
"Kalau minta fatwa, tergantung MA mengeluarkan fatwa atau tidak. Atau hanya petunjuk," tuturnya.
Suhadi juga mengatakan sudah paham apa yang diminta Prasetyo lewat suratnya. Sebab, dengan tidak adanya batas waktu pengajuan grasi, para terpidana mati bisa kapan saja mengajukan grasi kepada presiden. Padahal pada aturan sebelumnya dinyatakan grasi diajukan paling lama 1 tahun setelah ada putusan hukum tetap.
"MK sudah mengabulkan soal grasi yang tak terbatas waktu. Dulu kan grasi paling lambat 1 tahun setelah ada putusan hukum tetap. Kalau tidak ada batas waktu lagi, ya kayak dulu, mau ajukan kapan. Grasi kan diajukan sekali, tapi tidak ada batas waktunya. Kapan mau mengajukan, terserah. Itu mungkin yang dipermasalahkan (oleh Jaksa Agung)," paparnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan grasi tidak dibatasi oleh waktu. Meski demikian, grasi tidak bisa menunda pelaksanaan eksekusi mati.
Putusan itu diketok atas permohonan pembunuh bos Asaba, Suud Rusli, yang menggugat UU Grasi. Sebelum putusan MK diketok, grasi maksimal diajukan 1 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya atas Pasal 7 ayat 2 UU tentang Grasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap ketua majelis hakim Arief Hidayat dalam sidang di gedung MK, Rabu (15/6/2016).
Pasal 7 ayat 2 berbunyi:
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
"Namun, untuk mencegah digunakannya hak mengajukan grasi oleh terpidana atau keluarganya, khususnya terpidana mati, untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan, seharusnya jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi, atau setelah jaksa selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi," ucap majelis hakim.
Menurut MK, tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meskipun ketentuan demikian tidak diatur secara eksplisit dalam UU Grasi.
"Demi kepastian hukum, tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut," putus majelis dengan suara bulat. (bis/dhn)
Comments
Post a Comment