
Bagi Roem, kunjungan itu sangat berarti. Ia ingin mendengar langsung gagasan dan pemikiran Haji Agus Salim, di tengah para pemuda yang sedang menyongsong pergerakan. Roem berkisah, dari asrama Stovia di Gang Kwini, ia bersepeda selama 10 menit menuju Tanah Tinggi, rumah Haji Agus Salim.
"Jalan yang diaspal hanya sampai Stasiun Senen, seterusnya jalan tanah biasa dan berlubang-lubang. Lewat jalan ini dengan sepeda, bagaikan naik perahu di atas air yang berombak," demikian kisah Roem, yang terekam di Jurnal Prisma, edisi 8/1977.
Ketika hujan, jalan sempit menuju rumah Agus Salim tergenang air, dengan tanah yang belepotan. Jika menunggang sepeda, tanah lumpur akan melekat pada roda, dan tidak bisa dikayuh. Sepeda harus dipanggul, agar tetap bisa sampai tujuan. Itu yang dilakukan Kasman, kawan Mohammad Roem, ketika berkunjung ke rumah Agus Salim suatu ketika. Kita bisa bayangkan, bagaimana kondisi rumah Haji Agus Salim yang sederhana.
Di hadapan Roem dan kawan-kawannya, Haji Agus Salim terlihat bersahaja. Tuan rumah menyambut tamu, para pelajar yang berkobar semangat itu, untuk duduk di serambi rumah. Mereka kemudian terlibat dalam perbincangan.
"Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita. Leiden is lijden," demikian kesaksian Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim merupakan pejuang sederhana. Ia bergerak dengan pengetahuan dan kemampuan berdiplomasi. Memulai belajar dari Europeesche Lagere School (ELS), kemudian berlanjut ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Di usia muda, Agus Salim mampu mengusai tujuh bahasa asing: Arab, Belanda, Inggris, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman. Keahlian berbahasa ini menunjang manuver diplomatik yang ia perjuangkan.
Agus Salim bisa dianggap sebagai diplomat ulung Indonesia. Dari kejeniusan dan ketekunannya, pada 1947 Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dan perjanjian persahabatan dengan Mesir. Pada awal Kemerdekaan, kepercayaan dari negara lain tentang kedaulatan Indonesia menjadi sangat penting.
Salim tetaplah pemimpin sederhana, ia tetap menjadi manusia yang memberi teladan bagi bangsanya. Agus Salim sering berpindah-pindah rumah kontrakan. Untuk menyegarkan suasana, ia mengubah tata letak meja, almari dan tempat tidur di rumahnya.
Saat seorang anaknya wafat, Agus Salim bahkan tidak punya uang untuk membeli kain kafan. Ia lalu membungkus anaknya dengan taplak meja dan kelambu. "Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru, untuk orang yang mati, cukuplah kain itu," demikian pendapat Agus Salim.
Di tengah suasana peringatan Kemerdekaan, kita mengenang sosok Haji Agus Salim sebagai pemimpin teladan. Kesederhanaan menjadi kunci, di tengah selebrasi para tokoh politik dan manuver korupsi yang dipanggungkan di berbagai media. Kita mengenang Agus Salim dengan air mata: antara kesedihan dan kebanggaan menjadikannya teladan. Kesederhanaan yang bisa digali menjadi nilai keteladanan.
Bagi Agus Salim, memimpin adalah menderita. Menjadi seorang pemimpin haruslah siap menderita untuk kesungguhan cita-cita dan kesejahteraan bangsa, atau umat yang dipimpinnya. Salim membuktikan, betapa penderitaan ia panggul sampai paripurna, betapa kesederhanaan ia dekap hingga ajal tiba. Bukan ia tak punya uang, sebenarnya. Pergaulan lintas pejabat, diplomat, dan peran kuncinya di berbagai peristiwa internasional menjadikan Agus Salim mudah untuk mengakses sumber uang. Ia dapat bergelimang harta, akses untuk mendapatkan energi dan uang dapat dengan mudah dibuka. Namun, ia menolak serakah. Cukuplah kesederhanaan sebagai teman hidupnya.
Kini, 72 tahun Indonesia merdeka, kita menyaksikan betapa ongkos tinggi menjadi pemimpin politik yang ditopang ketenaran dan nafsu kekuasaan. Ongkos tinggi ini menjadikan beban politik semakin berat, dengan konsekuensi kerakusan untuk mengakses energi, sumber daya dan brangkas uang negara. Maka, sering kita saksikan betapa manuver-manuver elite politik, dari pusat hingga daerah, terpeleset dengan kasus hukum: masuk jurang korupsi, atau terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sungguh, bangsa ini merindukan pemimpin yang berjubah kesederhanaan.
Kisah lain bisa kita pungut dari teladan Gus Dur. Sepanjang hidupnya, Gus Dur tidak pernah punya dompet. Beliau tidak terbiasa menyimpan uang. Jika mendapatkan honor atau uang hadiah, langsung mengalir diberikan siapa saja yang membutuhkan. Gus Dur pemimpin tanpa keserakahan.
Kawan dekat Gus Dur, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), dalam sebuah kesempatan mengisahkan kebiasaan Gus Dur. "Gus Dur itu enggak pernah punya dompet. Saya walau sudah dipanggil Al-Mukarram masih punya dompet dua. Satu dompet untuk menyimpan rupiah, satunya lagi untuk menyimpan dolar. Nah, Gus Dur ini enggak punya dompet. Waktu dia di RSCM, dia ngutang. Nangis aku mengetahui itu," kisah Gus Mus.
Dalam sebentang sejarah hidupnya, kita bisa mengais teladan-teladan Gus Dur di berbagai peristiwa. Kisah-kisah kecil yang meletup dari memori orang-orang yang menjadi sahabatnya, orang-orang yang pernah bertemu dengannya.
Gus Dur berpikir, bersikap, dan bergerak dengan keteladanan. Perjuangan membela etnis minoritas, mengupayakan rekonsiliasi bangsa, membuka poros diplomasi internasional, dan sederet pengabdian kebangsaan beliau menjadi refleksi di setiap peringatan Kemerdekaan.
Bangsa Indonesia membutuhkan teladan kesederhanaan. Pemimpin-pemimpin yang berjubah emas, dengan silau harta benda yang dipamerkan, bukanlah warisan keteladanan. Menjadi kaya raya bukanlah kesalahan, namun mewariskan kesederhanaan menjadi teladan.
Di tengah riuh pekik kemerdekaan, di sepanjang jalan dan gang-gang yang berhias bendera merah-putih, di segenap festival pesta perayaan maupun aneka lomba di kampung-kampung yang riuh, kita merindukan pemimpin yang berjubah kesederhanaan. Pemimpin yang siap menderita untuk rakyatnya.
Munawir Aziz peneliti, aktif di Jaringan GusDurian, dapat disapa via@MunawirAziz (mmu/mmu)
Comments
Post a Comment