
"Kekerasan dalam keluarga itu dari data kami banyak terjadi di keluarga kurang mampu. Karena mereka tidak punya biaya untuk anak-anak mereka, istri juga terlalu tergantung pada suami, sedangkan suami penghasilannya kecil, akhirnya banyak bentrok, jadi korbannya anak-anak. Anak-anak tidak sekolah, ada yang kemudian jadi pelaku (KDRT). Saya cek ke polres, saya cek ke lapas-lapas dan mencari latar belakang keluarga dan realitasnya memang seperti itu," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise.
Namun kekerasan seksual kepada anak-anak, menurut Yohana, laporan kasusnya mengalami tren menurun setelah pemerintah membuat Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memuat hukum kebiri dan kemudian disahkan menjadi bagian UU Perlindungan Anak di DPR. Yohana belum bisa memastikan datanya. Dia mengibaratkan angka kekerasan seksual dan anak ini adalah gunung es, yang tercatat sesungguhnya lebih sedikit dari jumlah sesungguhnya.
"Kekerasan pada perempuan dan anak di Indonesia masih tinggi, seperti gunung es. Ada yang melapor yang itu yang tercatat," imbuh dia.
Salain itu kasus kekerasan pada perempuan dan anak, kasus trafficking juga masih mendominasi. Masalahnya, banyak perempuan tergiur dengan gaji tinggi di luar negeri.
"Trafficking. Perempuan dan anak banyak menjadi korban. Jadi satgas itu terus mendeteksi tempat-tempat trafficking itu di mana, penyebabnya apa. Kami juga mau melibatkan pihak intelijen bersama-sama mencari itu," jelasnya.
Berikut wawancara lengkap detikcom bersama Menteri Yohana di sela-sela kunjungan kerjanya ke Aceh pada Minggu (6/11) lalu yang ditulis Rabu (9/11/2016):
Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, bisa dijabarkan pencapaian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak?
Kalau dilihat dari pencapaian yang dilakukan Kementerian, kami dalam tahun pertama, kebanyakan melakukan mapping survei di seluruh Indonesia, tentang isu-isu yang critical yang bisa kami hadapi. Karena isu perempuan dan anak ini kalau dilihat sampai di desa-desa, di grass root levelnya.
Satu tahun pertama, hasil mapping dari daerah-daerah ini, tidak semua, pokoknya saya merasa itu adalah daerah sampel, kami melakukan survei. Tahun kedua mulai muncul program-program yang saya buat berdasar hasil kajian itu, kekerasan pada perempuan dan anak di Indonesia masih tinggi, seperti gunung es. Ada yang melapor yang itu yang tercatat.
Akhirnya kami membuat program utama yaitu "Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan", dengan melibatkan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak yang kita sebarkan mulai dari Provinsi hingga Kabupaten/Kota yang sekarang sudah mulai untuk membentuk Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak yang sekarang sudah ada di 34 provinsi terbentuk di kabupaten kota di Indonesia, untuk mendukung pelayanan-pelayan terpadu.
Sosialisasi terhadap masyarakat dan juga bisa mendeteksi, jadi bukan hanya menjemput korban saja, tapi bisa mendeteksi dari laporan bahwa ini ada kekerasan di keluarga atau lingkungan tertentu, sehingga bisa melaporkan ke pusat pelayanan terpadu. Sehingga, bisa dibawa ke polisi.
Kami hanya bisa membawa laporan itu ke polisi karena ada unit perempuan dan anak. Artinya koordinasi ini berjalan terus. Data yang ada di Pusat Pelayanan Perempuan dan Anak dan polisi harus sama, jangan ada berbeda dan sudah sangat baik sekali.
Dalam penanganan korban, kita juga membutuhkan lembaga hukum yang harus ada. Yang jadi masalah psikolog, kita masih kekurangan di seluruh Indonesia dan juga penanganan kasus masih banyak yang mediasi. Undang-undangnya kita sudah buat, undang-undang perlindungan anak, kekerasan dalam rumah tangga, termasuk trafficking juga ada undang-undangnya.
Bagaimana kasus-kasus harus ditangani secara serius. Kita juga memberikan pemahaman kepada para bapak-bapak, kaum lelaki kita, harus sadar bahwa perempuan dan anak itu penting dan harus dijaga. Dan juga penegakan hukum di negara kita harus diangkat, sehingga masyarakat itu harus sadar bahwa undang-undang itu ada.
Hukum kita kuat, termasuk kita sudah punya perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat. Masyarakat di desa sudah mengapresiasi sistem ini, sistem yang melibatkan masyarakat, di mana terjadi kekerasan terhadap anak-anak dimanapun, mereka sendiri yang menyelesaikan masalah itu. Bilamana harus dibawa ke ranah hukum, nanti dilanjutkan.
Jadi (upaya) itu sudah tersebar di 34 provinsi dan beberapa kabupaten kota sampai ke desa-desa. Dan saya sudah cek di mana-mana banyak yang apresiasi terhadap perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat. Itu dengan organisasi masyarakat, partisipasi masyarakat, kami sudah mulai melibatkan dewan adat untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Yang kedua, trafficking. Perempuan dan anak banyak menjadi korban. Jadi satgas itu terus mendeteksi tempat-tempat trafficking itu di mana, penyebabnya apa. Kami juga mau melibatkan pihak intelijen bersama-sama mencari itu.
Di samping itu kita menyiapkan pelatihan bagi para perempuan. Rencananya kita akan membuat woman technical college, kita latih perempuan di situ, keterampilan apa saja yang bisa dikembangkan, sehingga kami tidak hanya fokus untuk mengirim mereka ke luar negeri, tapi juga domestik di dalam negeri. Jadi mereka tidak tergiur dengan iming-iming ke luar negeri, tapi kebanyakan di dalam negeri, termasuk pembantu rumah tangga.
Kami siapkan, seluruh Indonesia pasti butuh pembantu rumah tangga ini. Kita akan siapkan women technical college. Kita bisa menjadi provider, siapapun yang ingin memiliki pembantu, kita sudah siap sesuai dengan standar UMR.
Kekerasan dalam keluarga itu dari data kami banyak terjadi di keluarga kurang mampu. Karena mereka tidak punya biaya untuk anak-anak mereka, istri juga terlalu tergantung pada suami, sedangkan suami penghasilannya kecil, akhirnya banyak bentrok, jadi korbannya anak-anak. Anak-anak tidak sekolah, ada yang kemudian jadi pelaku (KDRT). Saya cek ke polres, saya cek ke lapas-lapas dan mencari latar belakang keluarga dan realitasnya memang seperti itu.
Kami tetap mengangkat perempuan-perempuan untuk masuk ke dalam home industry, seorang ibu harus bisa berusaha sendiri, di rumah-rumah mereka sendiri, supaya bisa membantu menambah income keluarga juga. Dan itu program-progam yang kami buat berdasarkan pendataan saya di lapangan.
Terkait pengesahan Perppu Kebiri resmi masuk jadi UU Perlindungan Anak, ada berapa turunan PP dari Pasal Kebiri itu yang akan dibuat?
PP-nya ada 3, yang jelas sudah melalui sidang paripurna. Sebulan yang lalu kalau tidak salah, dari DPR. Jadi PP-nya sedang disusun. Sudah selesai. Ini harus diajukan ke DPR lagi. Jadi kami ajukan PP Rehabilitasi Sosial, PP Hukuman Kebiri dan PP Pemasangan Chip di Tubuh Pelaku Kekerasan Seksual.
Itu antar kementerian terkait, jadi bukan hanya di Kementerian kami saja, juga ada di Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial, itu adalah betul-betul yang terkait dengan ini. Mereka yang menyusun.
Tahun depan sudah selesai semua PP turunan UU Perlindungan Anak Pasal Kebiri?
Iya, kalau bisa dipercepat lebih bagus.
Saat Perppu Kebiri disahkan menjadi bagian UU Perlindungan Anak di DPR, IDI tetap tidak mau menjadi eksekutor kebiri kimiawi? Bagaimana solusi pemerintah?
Saya pikir kalau sudah menjadi UU siapapun yang diperintahkan harus tunduk kepada undang-undang. Anda kalau misalnya jadi dokter, ini sudah jadi UU, presiden atau siapa yang sudah diinstruksikan tetap harus dijalankan.
Tapi banyak cara yang bisa dipakai, menteri siapa itu katakan kepada saya, bahwa di lapas-lapas itu kan ada dokter, dokter militer, dari kepolisian ada dokter polisi bisa dipakai. Banyak cara.
Apakah kejahatan seksual bagi anak menurun setelah Perppu Kebiri dikeluarkan? Bila terjadi penurunan, adakah data Kementerian PPPA tentang itu?
Saya pikir kalau dari 2014-2015, kita lihat itu naik sekali. Apalagi di tahun 2015 itu sudah dikatakan darurat itu. Di media dan TV kasus kekerasan Engeline, Yuyun, bocah yang dimasukkan di kardus itu satu kekerasan pada titik tertinggi, saya katakan bahwa itu yang terlapor. Saya banyak mendengar kasus di daerah yang sama terjadi, tapi tidak dibawa atau masuk ke media.
Kepala badan melaporkan kasus yang sama. Tapi masing-masing menangani kasus itu di daerah masing-masing. Yang terlapor itu yang jadi perhatian kita semua. Muncul perhatian dari Kementerian terkait dan aksi apa yang bisa kami lakukan dan membuat pelaku jera, maka muncul tadi Perppu nomor 1 2016 dari UU Perlindungan Anak.
Dan, iya, setelah 2016 saya lihat mulai berkurang. Namanya fenomena gunung es kan terselubung di dalam, kita tidak tahu. Dan yang muncul hanya beberapa kasus yang dilakukan perempuan terhadap anak-anak. Ada yang sampai mutilasi, ada yang sampai anaknya diinjak, pokoknya macam-macam.
Ada yang mengatakan karena stres karena suaminya terlalu lama dipenjara, jadi banyak kasus ini yang membuat staf kami harus mengkaji mengapa hal itu bisa sampai terjadi. Dan kalau dilihat kasus kekerasan seksual mulai menurun, saya cek ke daerah, melalui telepon itu menurun. Saya lihat di Aceh, katanya termasuk yang tertinggi itu kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Nanti kita kaji juga mengapa sampai dikatakan tertinggi.
Namun secara nasional ada penurunan pelaporan masuk. Kalau data menyeluruh, belum ada, saya sedang meminta semua kepala badan mendata semua kasus di pusat pelayanan terpadu, sehingga akhir tahun ini kami bisa dapat data, berapa laporan yang masuk, jenis kekerasan yang ada, sudah terlapor berapa, yang sudah ditangani berapa, akhir tahun ini saya bisa mendapat jawabannya dari semua kepala badan.
Beberapa bulan ini, marak pembunuhan bayi dan anak oleh ibunya sendiri. Menurut Ibu, ini fenomena apa dan sedang terjadi krisis apa?
Iya ini, saya tidak tahu, sekarang kan banyak perkembangan teknologi, mungkin bisa mengubah mindset. Kita semua orang Indonesia, ada modus-modus yang kita tidak sangka. Jadi saya juga belum bisa tahu. Tapi yang jelas saya mendapat laporan bahwa ada suami pelaku yang yang sudah cukup lama tinggal di penjara. Mungkin ada hubungan dengan masalah psikologi, kaum perempuan hadapi situasi harus bekerja keras dan mengapa sampai bisa begitu.
Apa ada kemungkinan para ibu melakukan hal (tega membunuh anak sendiri) itu karena depresi pasca melahirkan? Bila betul ada gejala depresi pasca melahirkan, seberapa mengkhawatirkan gejala ini di kalangan perempuan?
Bisa saja. Mereka mungkin saja, kita belum tahu latar belakangnya semua, bisa jadi ada unexpected pregnancy. Bukan itu saja, kemarin juga ada TKW yang melahirkan di atas pesawat, melahirkan, dan bayinya dimasukkan ke toilet. Kaget setelah diketahui di bandara, dia pendarahan, akhirnya dia mengaku dan bayinya diambil. Mungkin dia bekerja dan kemudian dirinya hamil, pulang, akhirnya terjadi begitu.
Kita tidak sangka, dan memang itu bisa terjadi di seluruh Indonesia. Hamil di luar nikah, laki-lakinya tidak bertanggung jawab. Banyak modus akhirnya dan apa saja bisa terjadi.
Jadi di sini peran laki-laki juga lebih disorot ya?
Kita mulai 2017, melakukan pendekatan dengan laki-laki. Saya baru pulang dari Turki, di mana perempuan muslim seluruh dunia kumpul di Turki, mereka tertarik menangani perempuan-perempuan di situasi konflik.
Banyak yang diperkosa, banyak yang ditangkap, disandera, di situ komitmen perempuan, termasuk kekerasan pada perempuan, ini isu universal. Dan mereka ingin supaya media bisa meliput bagaimana menangani itu.
Supaya perempuan bisa diedukasi, di mana perempuan hebat muncul, perempuan muslim khususnya, yang muncul di seluruh dunia. Dunia harus tahu bahwa perempuan muslim yang berprestasi harus diketahui dunia. Itu tugas media sekarang, harus melihat perempuan muslim, jangan dilihat sisi negatifnya, tapi sisi positif harus ditonjolkan.
Karena itu jadi satu catatan, perempuan muslim yang kuat. Menteri Turkinya katakan mereka libatkan laki-laki. Perempuan melaporkan ke polisi, perempuan punya tempatnya sendiri, laki-laki punya tempatnya sendiri, ditaruh di sel tersendiri. Jadi pembinaan khusus untuk laki-laki juga ada, supaya kembali jangan berbuat hal seperti itu. Jadi tidak langsung dihukum.
Kalau sampai dia berubah ya berarti kembali lagi baik-baik dengan istrinya. Yang pasti dibawa ke ranah hukum. Sekarang laki-laki dibina terus, tapi ke depan kita harus kampanye juga ke semua laki-laki. Kita harus bikin demo di jalan-jalan bahwa laki-laki harus selamatkan kita.
Bagaimana dengan rencana revisi UU Perkawinan Tahun 1974 yang mengizinkan perempuan berusia 16 tahun menikah? Apa dasar alasan Kementerian PPPA mengusulkan amandemen itu? Kapan target goal revisi ini bisa terlaksana?
Saya pikir ini di Kementerian yang memang dari Kementerian terkait, Kemenkes, ya kita berusaha untuk menaikkan usia perempuan menikah menjadi 18 tahun. Ada beberapa pihak yang belum setuju.
Namun, UU usia minimal 16 tahun, tergantung dari orangtua juga, atas izin orangtua. Kalau orangtua tidak mengizinkan kan tidak bisa. Usia 18 tahun sudah masuk konstitusi, jadi kita tinggal berjuang saja melalui tokoh-tokoh kita, tokoh adat, tokoh agama, bahwa perempuan ini menikah muda belum cukup siap dari reproduksinya.
Kementerian PPPA juga memperbarui kampanye sunat perempuan di Indonesia. Seberapa gawat sunat perempuan ini di Indonesia? Masih terjadi di daerah mana saja?
Sesuai dengan data di Indonesia, sunat di Indonesia itu termasuk tertinggi di dunia sesuai data PBB. Dan ini sudah komitmen global PBB, sudah digaungkan PBB melalui beberapa pertemuan internasional, semua negara-negara di bawah PBB. Saya sebagai menteri yang berhubungan dengan perlindungan anak, bahwa memang latar belakang agama tradisi yang masih dipakai sampai sekarang, dan itu mengapa susah mengubah paradigma dan mindset orang, membutuhkan waktu.
Di beberapa daerah, FGM masih ada di Jawa Barat, Timur, Tengah termasuk di Sulawesi Selatan. Yang jelas ada upaya sosialisasi dengan Kemenkes untuk bisa menurunkan FGM. Sekarang tergantung dengan masyarakat untuk sadar apakah itu berbahaya atau tidak kami lihat dari hasil penelitian. (nwk/erd)
Comments
Post a Comment