
Perhatian orang terhadap suatu masalah tidak pernah terlepas dari peran media. Palestina mendapat perhatian lebih luas karena media internasional meliputnya lebih banyak. Rohingya mendapat liputan, tapi tidak sangat luas. Perhatian kita pada Rohingya lebih banyak saat konflik di Palestina agak "sepi".
Kenapa kita peduli pada Rohingya? Kebanyakan orang Indonesia akan menjawab, karena mereka muslim. Tapi, apakah itu satu-satunya alasan bagi perhatian kita? Tidak. Ada faktor lain, yaitu soal siapa yang menzalimi mereka. Pihak yang menzalimi mereka adalah pemerintah Myanmar, yang Budha, bukan muslim.
Pernahkah ada perhatian besar terhadap Yaman ketika jet-jet tempur Saudi memborbardir kelompok pemberontak, menewaskan banyak orang, termasuk perempuan dan anak-anak? Nyaris tidak ada. Apakah karena Yaman bukan muslim? Bukan begitu. Karena yang menzalimi adalah pihak muslim juga.
Kenapa bisa seperti itu? Ada soal yang mengkhawatirkan saya soal ini. Coba kita perhatikan ke arah mana kecaman-kecaman yang muncul dalam kasus Myanmar ini? Ke umat Buddha. Tak hanya Buddha Myanmar, tapi Buddha secara keseluruhan. Bahkah menjurus ke umat Buddha Indonesia.
Ada orang-orang yang punya kebutuhan untuk mengecam pihak lain. Mereka mendapat kenikmatan dengan mengecam. Kasus Rohingya memberi kesempatan untuk mengecam. Sedangkan kasus Yaman tidak memberi kesempatan itu, karena pihak yang menzalimi juga dari kalangan muslim, yang tak mungkin dikecam. Jadi, bagi sekelompok orang, Rohingya ini sebenarnya bukan soal solidaritas kepada korban, tapi soal pemenuhan kebutuhan untuk mengecam.
Bagi politikus, ini kesempatan untuk naik ke panggung dan dapat perhatian. Ini kesempatan untuk menguatkan citra sebagai pejuang muslim, dan memburukkan citra pihak lawan, dengan menuduh mereka tidak peduli pada Rohingya.
Ada pula orang-orang yang menjadikan kasus Rohingya ini sebagai pembenaran terhadap kezaliman mereka. Mereka berbuat zalim, dan itu salah. Tapi, mereka membenarkannya dengan dalih bahwa ada kezaliman yang lebih keji, yaitu di Myanmar. Dibandingkan dengan itu, maka kezaliman mereka masih termasuk ringan. Jadi pihak yang dizalimi tidak boleh mengeluh.
Jadi, bagaimana seharusnya kasus Rohingya dilihat? Ini adalah soal kezaliman. Kita harus menentang kezaliman, dan bersimpati pada korbannya. Itu berlaku umum, tidak peduli siapa pelaku maupun korban. Artinya, kalau kebetulan pelaku kezaliman adalah pihak dengan identitas yang sama dengan kita, maka kita pun harus menentangnya.
Demikian pula jika korbannya bukan orang-orang yang beridentitas sama dengan kita, maka kita pun harus bersimpati. Karena ini memang soal kezaliman, bukan soal pihak-pihak. Ini soal kemanusiaan dan kebaikan. Dalam soal kebaikan, manusia tidak boleh disekat-sekat. Tidak boleh ada sekat yang dapat membatasi kebaikan. Agama seharusnya membongkar sekat-sekat itu, bukan justru membangunnya. Dengan begitu perhatian kita akan merata.
Yaman dan Sudan juga menjadi perhatian kita, karena di sana juga ada kezaliman. Ini soal yang sebenarnya sangat sederhana. Kalau kita menemukan orang yang sedang sekarat, secara manusiawi kita akan tergerak menolong, tanpa perlu bertanya dulu apa agama dia. Simpati kita juga tidak boleh berkurang, ketika tahu bahwa dia bukan orang yang segolongan dengan kita. Bila itu terjadi, maka kita sedang mengingkari kemanusiaan kita.
Demikian pula soal korban konflik. Perhatian dan solidaritas kita tidak boleh dibatasi dan dipenjara oleh identitas-identitas. Dalam kasus Rohingya, kita bersimpati dan membantu mereka semata karena mereka manusia. Itulah identitas kita yang paling universal. Kemanusiaan.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Comments
Post a Comment