
Alokasi anggaran itu diambil dari APBN dan telah melalui kajian. Walaupun bertambah, jumlah tersebut masih lebih kecil dari hasil kajian KPK yang menyebut dana partai idealnya sebesar Rp 1.071 per suara sah. Respons bermunculan terkait dengan kenaikan dana bantuan parpol tersebut. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, KPK memperingatkan kalangan parpol agar lebih hati-hati dan transparan dalam menggunakan bantuan dana dari pemerintah tersebut, karena sangat rentan untuk dikorupsi.
Transparansi dilakukan agar parpol juga tidak terjebak dalam kasus korupsi yang belakangan ini semakin mengkhawatirkan. KPK akan membuat model dan saran tata kelola dana parpol agar akuntabel. Saat ini model tersebut tengah dilakukan pematangan sehingga dapat digunakan dalam waktu dekat ini. Namun, pihaknya beserta aparaturnya tidak mungkin bisa memantau penggunaan dana parpol setiap saat.
Selain menerapkan model penggunaan dana parpol, pihaknya juga merekomendasikan perlunya iuran anggota dan sistem kaderisasi yang transparan, sehingga parpol tidak seolah jadi penerima, akan tetapi juga mendorong agar tumbuh mandiri dengan basis kekuatan anggota mereka.
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan parpol harus siap diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah. Syarat yang diajukan KPK, nilai bantuan harus disesuaikan dengan iuran anggota serta ada kode etik dan mahkamah etik di internal partai politik serta perekrutan kader dilakukan secara terbuka dan transparan.
Menurutnya, pembiayaan partai politik disarankan diikuti dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dan Undang-undang tentang Partai Politik. Revisi dua aturan itu harus memuat sejumlah indikator, yakni perbaikan rekrutmen dan kaderisasi, perbaikan etik politisi, dan pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat.
Deputi Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi menyesalkan keputusan Menkeu yang menyetujui kenaikan dana parpol hingga 10 kali lipat. Karena alokasi dana parpol tersebut dinilai justru akan menambah beban defisit anggaran negara. Oleh karenanya kenaikan dana parpol tidak tepat dilihat dari kondisi keuangan negara saat ini dengan defisit sudah di atas Rp 326 triliun.
Parpol yang Berintegritas
Tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai politik. Oleh karena itu, banyak pihak menyakini parpol salah satu unsur penting dalam meningkatkan demokrasi dan menjaga suhu politik tetap stabil, agar tujuan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dapat tercapai. Namun, dalam konteks Indonesia yang diperlukan adalah parpol yang berintegritas, sehingga menghasilkan kader-kader pemimpin bangsa yang berkualitas, bukan koruptor yang andal.
Munculnya respons dari berbagai kalangan yang intinya kurang mendukung kenaikan 10 kali lipat dana parpol masuk akal sebab kenaikan anggaran yang dikumpulkan dari berbagai pajak rakyat tersebut akan semakin menambah beban negara membayar utang. Jangankan pokok utang, bunganya saja kita sudah "Senin-Kamis" untuk membayarnya. Pada 2017, nilai total pembayaran bunga utang dalam APBN-P sebesar Rp 219,2 triliun. Pada 2018, dalam RAPBN direncanakan total pembayaran bunga utang sebesar Rp 247,58 triliun. Artinya terdapat kenaikan pembayaran bunga utang sebesar 13% dari 2017 ke 2018.
Alasan kedua dari berbagai kalangan masyarakat yang menolak kenaikan dana bantuan parpol adalah masih banyaknya parpol yang enggan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangannya. Dan, konon untuk menambah kekurangan anggaran operasional, beberapa pengurus dan anggota legislatif dari parpol terjerat korupsi.
Alasan ketiga penolakan kenaikan dana bantuan parpol adalah kebijakan tersebut mencerminkan bahwa sistem politik di Indonesia sudah digerakkan dengan uang dengan mahalnya biaya untuk menjadi kader atau calon legislatif. Sehingga, tidak mengherankan jika konon beberapa kebijakan politik yang dikeluarkan merupakan perpanjangan kepentingan elite bisnis dan memantik semakin suburnya dinasti politik dalam parpol.
Thomas Fergusson dalam Investment Theory of Party Competition (1995) menyatakan, dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money driven political system), kebijakan-kebijakan politik tidak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elite bisnis dan investor. Pelan tapi pasti, pusat kekuasaan bergeser ke arah plutarchy (penguasaan negara oleh oligarki kaya).
Blood is thicker than water (darah lebih kental daripada air). Doktrin politik kuno tersebut sangat selaras apabila kita sandingkan dengan fenomena dinasti politik yang sedang "menjangkiti" banyak kepala daerah di Indonesia. Dinasti politik dapat dimaknai sebagai pendistribusian kekuasaan antaranggota keluarga sedarah. Fenomena ini sangat berdampak negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan didaerah.
Pertama, dinasti politik merupakan cara melanggengkan kekuasaan, baik politik maupun ekonomi. Fenomena ini akan memperlebar indikasi penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, kesenjangan kontestasi politik, keluarga incumbent memanfaatkan fasilitas pemerintah dengan segala akses atau jaringan incumbent untuk memperbesar peluang menang dalam pemilihan. Ketiga, memperbesar peluang manipulasi politik. Menurut data Kemendagri (2013), sebanyak 57 kepala daerah membangun dinasti politik, dan 40 di antaranya memenangi Pemilukada.
Kita memang membutuhkan demokrasi dan parpol, namun yang sehat dan berintegritas, agar keduanya memiliki elektabilitas yang membanggakan. Salah satu faktor untuk mendapatkan elektabilitas yang membanggakan adalah reputasi yang bersih dari korupsi, yang itu jelas merupakan kekuatan atomic calon legislatif maupun parpolnya. Dikemukakan Donald Stokes, elektabilitas merujuk pada kekuatan atomic calon dalam menarik dukungan (kharisma, popularitas atau reputasi bersih dari korupsi). Semoga.
Toni Ervianto alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur
(mmu/mmu)
Comments
Post a Comment