Skip to main content

Mengubur Bara Rohingya

detiknews - Jakarta - Setiap orang tentu akan geram melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Rohingya, tak peduli dia berbeda; beda agama, suku bangsa, ras etnis atau teritori negara. Konflik yang berlangsung di Rohingya ini penuh kengerian mulai dari pembunuhan, pemerkosaan, perampasan hingga pengusiran. Pemerintah Burma seakan tak acuh. Aung San Suu Kyi dinilai masyarakat dunia tidak sepadan antara sikap dengan penghargaan Nobel yang pernah ia terima.

Kekerasan yang menimpa muslim Rohingya adalah bentuk akumulasi kekerasan struktural dan kultural di mana kebencian terpelihara dan terlembaga. Jika kita telusuri ke belakang, residu masa lalu yang tertinggal dalam ingatan masyarakat Myanmar punya andil terhadap kondisi pilu saat ini.

Dahulu kala, Kerajaan Burma dan Kerajaan Arakan pernah berperang dan menyebabkan orang-orang Arakan harus melarikan diri. Pada zaman Kolonial Inggris, warga muslim Rohingya banyak yang dijadikan sebagai pekerja, baik pekerja kasar maupun pekerja administrasi. Hal ini dipandang sebagai privilege yang kemudian menimbulkan rasa cemburu dari mayoritas warga Burma yang notabene berbeda agama.

Setiap masyarakat dan kebudayaan memiliki bara permasalahan masa lalu yang jika terinjak bisa membuat hati dan kepala menjadi panas. Anekdot bahwa tidak akan ada nama jalan Gajah Mada atau jalan Hayam Wuruk di Kota Bandung adalah gambaran nyata bagaimana ingatan historis masyarakat masih tetap terpelihara. Konon, sebabnya adalah perseteruan Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran di masa lalu.

Bara pertikaian akibat kolonialisme juga pernah terjadi di Indonesia. Pembagian kelas masyarakat yang dilakukan kolonial Belanda antara bumiputera dengan etnis Cina, Arab, dan Eropa sebagai kelas berbeda, menyisakan "sentimen" yang seolah sulit disembuhkan. Sentimen ini mengemuka kembali ketika terjadi kerusuhan 1998 di mana Cina menjadi sasaran.

Selain pemisahan kelas sosial, pemisahan wilayah juga kerap menjadi pemantik pertikaian antarwarga sipil. Di Arakan sendiri, warga Rohingya pernah dibagi oleh Jepang dalam dua wilayah; orang Budha menempati wilayah selatan, sedangkan Muslim Rohingya bertempat di utara.

Meminjam kacamata Dom Helder Camara, konflik Rohingya adalah spiral kekerasan yang melibatkan berbagai aspek historis, sosial dan psikologis. Kekerasan selalu diawali dengan ketidakadilan, begitu kata Camara. Ketidakadilan di Burma berlangsung secara spiral mulai dari rasa ketidakadilan warga Burma terhadap orang Rohingya di masa kolonial Inggris, hingga rasa ketidakadilan itu berbalik datang dari warga Rohingya selepas mereka melewati masa penjajahan.

Setelah Burma merdeka, konstitusi mereka tidak mengakui keberadaan etnis Rohingya sebagai kelompok minoritas. Pada akhirnya ketidakadilan tersebut menyulut pemberontakan, dan pemberontakan selalu direspons tindak represif penguasa.

Begitu kusut benang konflik yang terjadi di Rohingya hingga sebagian orang tidak tahu sebab apa dan bagaimana memadamkan bara konflik yang terjadi di sana. Akses informasi yang tertutup menambah buruk keadaan yang semakin samar.

Lepas dari itu semua, pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya sangat tidak dibenarkan. Reaksi kemarahan masyarakat Indonesia sangat wajar. Sebagai negara dengan mayoritas warga pemeluk Islam, Indonesia punya ikatan kuat dan persaudaraan yang terikat secara akidah. Tentu masyarakat Muslim Indonesia tidak tega melihat darah dibiarkan mengalir begitu saja.

Mengingat gejala yang mengemuka mengarah pada konflik yang mempertemukan dua agama, maka wajar jika muncul kekhawatiran ekses-ekses negatif yang timbul akibat gejala konflik Rohingya terhadap kondisi keberagaman dan kebersamaan di Indonesia.

Hiruk pikuk media sosial soal konflik Rohingya semakin kencang terasa, mulai dari penggalangan dana, aksi solidaritas, atau doa bersama. Sayangnya di tengah tindakan-tindakan positif tersebut, sebagian orang malah membuat keruh suasana dengan berbagai pernyataan-pernyataan yang tidak bijak. Saling serang dan saling sindir pernyataan meluap di media sosial.

Tengok kicauan Fadli Zon yang menulis; rezim ini kelihatan tak mendukung masyarakat #rohingya yg jadi korban pengusiran n pembantaian. Apakah karena kebetulan mereka muslim?. Pernyataan ini kemudian dijawab sebagian netizen dengan pertanyaan balik; kalau mereka bukan muslim apakan masih mau membantu? Saling jawab dan saling sindir antar-netizen di media sosial pada akhirnya kontraproduktif dengan semangat solidaritas yang hendak dibangun.

Lebih parah lagi, belakangan beredar pesan berantai yang berupaya menggalang demonstrasi untuk mengepung Candi Borobudur sebagai protes atas kekejaman di Rohingya. Alasannya kurang lebih Candi Borobudur sebagai ikon terbesar umat Budha sehingga pesan perlawanannya bisa didengar semua warga dunia.

Mereka ingin menggalang solidaritas dengan membangun korelasi yang kurang elok (jika terlalu kasar untuk mengatakan keliru). Candi Borobudur memang representasi umat Budha, tetapi apakah Budha Burma menjadi representasi Budha di seluruh dunia? Jika demonstrasi di Candi Borobudur benar-benar terjadi, korelasi-korelasi logis dianggap tidak penting karena yang utama bagi mereka adalah menggugah perasaan massa (argumentum ad populum). Vis a vis antardua agama akan semakin kencang.

Umat beragama di Indonesia siap-siap harus menyimpan memori peristiwa tersebut yang di kemudian hari bisa menjadi spiral kekerasan. Efek dari saling berhadapan antardua agama juga menyebabkan solidaritas menjadi sempit. Umat dari agama lain tentu akan menahan diri karena tidak ingin dianggap mencampuri urusan yang terjadi antardua agama. Alhasil, secara tidak langsung isu agama yang menggejala mendorong umat lain bersikap "tutup mata dan telinga".

Pada akhirnya, sebab agama atau bukan, tidak ada yang membenarkan kekerasan terjadi di muka bumi. Pemerintah Indonesia harus menunjukkan politik aktif dan positif dengan terus menjadi pihak terdepan dalam mangawal dan menyelesaikan konflik di Rohingya. ASEAN dan PBB juga harus memberikan andil nyata dengan memberikan tekanan kepada pemerintah Myanmar untuk menghentikan seluruh kekejaman yang terjadi di sana.

Hal terpenting untuk saat ini pemerintah Myanmar harus segera membuka akses bantuan kemanusiaan serta akses media, sehingga masyarakat dunia bisa menerima dengan jelas kebenaran yang terjadi, dan bara konflik di Rohingya dapat segera usai.

Yadi Supriadi dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (mmu/mmu)

Comments

Popular posts from this blog

Pria yang Jatuh dari Lantai 5 Tunjungan Plaza 1 Diduga Bunuh Diri

detiknews - Surabaya - Seorang pria tewas setelah terjatuh dari lantai 5 Tunjungan Plaza (TP) 1 Surabaya. Pria yang identitasnya belum diketahui itu diduga bunuh diri. "Korban diduga bunuh diri," ujar Kapolsek Tegalsari Kompol David Triyo Prasojo kepada wartawan di lokasi, Kamis (19/10/2017). Bunuh diri menjadi dugaan karena tidak ada saksi mata yang mengetahui langsung pria tersebut meloncat dari lantai atas. Security TP, Budi Harianto, hanya mendengar suara benda jatuh yang ternyata adalah tubuh pria itu. Dari informasi yang dihimpun, indikasi bahwa kejadian tersebut merupakan bunuh diri adalah ditemukannya sepasang sandal di parkiran lantai 5 TP 1. Dari lokasi parkir itulah pria tersebut terjun bebas. Dan diduga sandal tersebut adalah sandal pria itu. Indikasi lainnya adalah telapak kaki pria itu berwarna putih saat ditemukan. Warna putih itu diduga adalah kapur atau cat kering. Diduga pria itu sempat memanjat tembok atau pagar di lantai atas TP 1 sebelum melakuk

Seorang Pria Jatuh dari Lantai 5 Tunjungan Plaza 1 Surabaya

detiknews - Surabaya - Seorang pria tewas setelah jatuh dari lantai 5 Tunjungan Plaza (TP) 1. Belum diketahui identitas pria tersebut. "Kami mendapat laporan peristiwa itu pukul 21.30 WIB," ujar Kapolsek Tegalsari Kompol David Triyo Prasojo kepada wartawan di lokasi, Kamis (19/10/2017). David mengatakan, pria tersebut terjun dari lokasi parkir yang ada di lantai 5 TP 1. Pria tersebut ditemukan dalam keadaan telentang oleh saksi yakni security TP, Budi Harianto. Budi juga yang pertama kali mendengar ada suara benda jatuh yang ternyata adalah pria itu. Tidak ada darah di tempat pria itu jatuh. Diduga pria tersebut jatuh dengan kaki terlebih dahulu menyentuh tanah. Indikasi itu terlihat dari tulang pinggul pria itu yang patah. Selain itu mata kaki kanan dan siku tangan kiri juga patah. "Kami tak menemukan identitas pada diri pria tersebut," tandas David. (iwd/bdh)

Pasangan Khofifah Diumumkan November Mendatang

detiknews - Surabaya - Calon pasangan bakal calon gubenur Jatim Khofifah Indar Parawansa akan diketahui pertengan Bulan November 2017. Sudah ada 8 nama yang salah satunya akan dipilih untuk mendampingi Khofifah. "Kita tidak boleh tergesa-gesa dan lambat. Kalau tergesa-gesa itu dari syaiton (setan) hasilnya. Tapi kalau lambat, juga tidak boleh.," jelas KH. Asep Syaifuddin Chalim kepada wartawan usai pertemuan kiai-kiai yang tergabung tim 17 di Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Wonocolo, Surabaya, Kamis (19/10/2017) malam. Tim 17 malam yang diikuti KH. Sholahudin Wahid, KH. Asep Syaifuddin Chalim, KH. Hisyam Safaat, KH. Suyuti Toha, KH. Yusuf Nuris, KH. Afifudin Muhajir, KH. Mas Mansur, KH. Mutam Muchtar, KH. Yazid Karimullah, KH. Wahid Badrus, Choirul Anam, dan yang lainnya ini mengadakan pertemuan untuk menjaring 8 nama bakal calon Wakil Gubernur Jawa Timur untuk Khofifah. Kiai Asep merahasiakan nama delapan nama yang terdiri dari unsur birokrasi,