
Kekerasan yang menimpa muslim Rohingya adalah bentuk akumulasi kekerasan struktural dan kultural di mana kebencian terpelihara dan terlembaga. Jika kita telusuri ke belakang, residu masa lalu yang tertinggal dalam ingatan masyarakat Myanmar punya andil terhadap kondisi pilu saat ini.
Dahulu kala, Kerajaan Burma dan Kerajaan Arakan pernah berperang dan menyebabkan orang-orang Arakan harus melarikan diri. Pada zaman Kolonial Inggris, warga muslim Rohingya banyak yang dijadikan sebagai pekerja, baik pekerja kasar maupun pekerja administrasi. Hal ini dipandang sebagai privilege yang kemudian menimbulkan rasa cemburu dari mayoritas warga Burma yang notabene berbeda agama.
Setiap masyarakat dan kebudayaan memiliki bara permasalahan masa lalu yang jika terinjak bisa membuat hati dan kepala menjadi panas. Anekdot bahwa tidak akan ada nama jalan Gajah Mada atau jalan Hayam Wuruk di Kota Bandung adalah gambaran nyata bagaimana ingatan historis masyarakat masih tetap terpelihara. Konon, sebabnya adalah perseteruan Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran di masa lalu.
Bara pertikaian akibat kolonialisme juga pernah terjadi di Indonesia. Pembagian kelas masyarakat yang dilakukan kolonial Belanda antara bumiputera dengan etnis Cina, Arab, dan Eropa sebagai kelas berbeda, menyisakan "sentimen" yang seolah sulit disembuhkan. Sentimen ini mengemuka kembali ketika terjadi kerusuhan 1998 di mana Cina menjadi sasaran.
Selain pemisahan kelas sosial, pemisahan wilayah juga kerap menjadi pemantik pertikaian antarwarga sipil. Di Arakan sendiri, warga Rohingya pernah dibagi oleh Jepang dalam dua wilayah; orang Budha menempati wilayah selatan, sedangkan Muslim Rohingya bertempat di utara.
Meminjam kacamata Dom Helder Camara, konflik Rohingya adalah spiral kekerasan yang melibatkan berbagai aspek historis, sosial dan psikologis. Kekerasan selalu diawali dengan ketidakadilan, begitu kata Camara. Ketidakadilan di Burma berlangsung secara spiral mulai dari rasa ketidakadilan warga Burma terhadap orang Rohingya di masa kolonial Inggris, hingga rasa ketidakadilan itu berbalik datang dari warga Rohingya selepas mereka melewati masa penjajahan.
Setelah Burma merdeka, konstitusi mereka tidak mengakui keberadaan etnis Rohingya sebagai kelompok minoritas. Pada akhirnya ketidakadilan tersebut menyulut pemberontakan, dan pemberontakan selalu direspons tindak represif penguasa.
Begitu kusut benang konflik yang terjadi di Rohingya hingga sebagian orang tidak tahu sebab apa dan bagaimana memadamkan bara konflik yang terjadi di sana. Akses informasi yang tertutup menambah buruk keadaan yang semakin samar.
Lepas dari itu semua, pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya sangat tidak dibenarkan. Reaksi kemarahan masyarakat Indonesia sangat wajar. Sebagai negara dengan mayoritas warga pemeluk Islam, Indonesia punya ikatan kuat dan persaudaraan yang terikat secara akidah. Tentu masyarakat Muslim Indonesia tidak tega melihat darah dibiarkan mengalir begitu saja.
Mengingat gejala yang mengemuka mengarah pada konflik yang mempertemukan dua agama, maka wajar jika muncul kekhawatiran ekses-ekses negatif yang timbul akibat gejala konflik Rohingya terhadap kondisi keberagaman dan kebersamaan di Indonesia.
Hiruk pikuk media sosial soal konflik Rohingya semakin kencang terasa, mulai dari penggalangan dana, aksi solidaritas, atau doa bersama. Sayangnya di tengah tindakan-tindakan positif tersebut, sebagian orang malah membuat keruh suasana dengan berbagai pernyataan-pernyataan yang tidak bijak. Saling serang dan saling sindir pernyataan meluap di media sosial.
Tengok kicauan Fadli Zon yang menulis; rezim ini kelihatan tak mendukung masyarakat #rohingya yg jadi korban pengusiran n pembantaian. Apakah karena kebetulan mereka muslim?. Pernyataan ini kemudian dijawab sebagian netizen dengan pertanyaan balik; kalau mereka bukan muslim apakan masih mau membantu? Saling jawab dan saling sindir antar-netizen di media sosial pada akhirnya kontraproduktif dengan semangat solidaritas yang hendak dibangun.
Lebih parah lagi, belakangan beredar pesan berantai yang berupaya menggalang demonstrasi untuk mengepung Candi Borobudur sebagai protes atas kekejaman di Rohingya. Alasannya kurang lebih Candi Borobudur sebagai ikon terbesar umat Budha sehingga pesan perlawanannya bisa didengar semua warga dunia.
Mereka ingin menggalang solidaritas dengan membangun korelasi yang kurang elok (jika terlalu kasar untuk mengatakan keliru). Candi Borobudur memang representasi umat Budha, tetapi apakah Budha Burma menjadi representasi Budha di seluruh dunia? Jika demonstrasi di Candi Borobudur benar-benar terjadi, korelasi-korelasi logis dianggap tidak penting karena yang utama bagi mereka adalah menggugah perasaan massa (argumentum ad populum). Vis a vis antardua agama akan semakin kencang.
Umat beragama di Indonesia siap-siap harus menyimpan memori peristiwa tersebut yang di kemudian hari bisa menjadi spiral kekerasan. Efek dari saling berhadapan antardua agama juga menyebabkan solidaritas menjadi sempit. Umat dari agama lain tentu akan menahan diri karena tidak ingin dianggap mencampuri urusan yang terjadi antardua agama. Alhasil, secara tidak langsung isu agama yang menggejala mendorong umat lain bersikap "tutup mata dan telinga".
Pada akhirnya, sebab agama atau bukan, tidak ada yang membenarkan kekerasan terjadi di muka bumi. Pemerintah Indonesia harus menunjukkan politik aktif dan positif dengan terus menjadi pihak terdepan dalam mangawal dan menyelesaikan konflik di Rohingya. ASEAN dan PBB juga harus memberikan andil nyata dengan memberikan tekanan kepada pemerintah Myanmar untuk menghentikan seluruh kekejaman yang terjadi di sana.
Hal terpenting untuk saat ini pemerintah Myanmar harus segera membuka akses bantuan kemanusiaan serta akses media, sehingga masyarakat dunia bisa menerima dengan jelas kebenaran yang terjadi, dan bara konflik di Rohingya dapat segera usai.
Yadi Supriadi dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (mmu/mmu)
Comments
Post a Comment