
Salah seorang pentolan GMPG, Ahmad Doli Kurnia, dipecat dari keanggotaan partai yang selama menjadi tempat aktivitas politiknya. Doli bukanlah nama baru di arena perpolitikan Partai Golkar. Beberapa kurun waktu terakhir, memang kader muda potensial tersebut senantiasa memiliki pandangan dan pemikiran yang nampak berseberangan dengan suara-suara elitis di Partai Golkar.
Terlepas dari perbedaan pandangan politik, aksi pecat-memecat bukanlah tradisi baru. Situasi internal politik kepartaian yang senantiasa menyajikan atmosfer dinamis, tidak bisa dibaca dan direspons dengan bijak. Karena pada kenyataannya, dinamika yang sedang berlangsung tersebut merupakan upaya bersama untuk mengangkat citra dan martabat partai, menjaga eksistensi hingga menjamin Partai Golkar mampu meraih kejayaan di masa yang akan datang.
Bukankah suara-suara GMPG selama ini masih tetap berada dalam koridor kepartaian? Tidakkah aksi-aksi politik GMPG adalah sebentuk kegelisahan kader muda tentang suasana kepartaian yang seakan menutup mata terhadap realitas yang sedang melingkupinya? Lalu, sejak kapan kegelisahan tersebut menuai penghakiman dari elite Partai Golkar yang sama sekali tidak memberi ruang untuk bersuara dan berpendapat sebagai bagian dari mekanisme demokrasi?
Sebagai Pengurus DPP Partai Golkar, saya pun bertanya-tanya, atas dasar apa pemecatan tersebut dikeluarkan menjadi kebijakan DPP Partai Golkar? Bukankah Partai Golkar memiliki mekanisme yang panjang dalam proses pengambilan keputusan, apalagi terkait penghilangan hak sebagai anggota partai?
Merujuk pada Peraturan Organisasi DPP Partai Golkar, mekanisme pengambilan keputusan terkait pelanggaran disiplin organisasi harus melalui Rapat Khusus yang melibatkan Koordinator Bidang Kepartaian, Koordinator Bidang Polhukam, Dewan Pembina, Dewan Pertimbangan dan Dewan Penasihat. Tidak hanya itu, sesuai amanat Pasal 3, potensi pelanggaran berat yang melahirkan sanksi pemecatan sejatinya dilakukan melalui investigasi khusus yang melibatkan unsur-unsur di atas, bukan berdasarkan subjektivitas semata.
Melupakan Sejarah
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang digelar pada 2016 lalu telah melahirkan nahkoda baru. Arah politik partai tertua di negeri ini tersebut pun kembali kepada garis perjuangan dan jati dirinya, yakni mendukung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemerintahan yang sah dan dipilih sesuai mekanisme yang demokratis.
Sejumlah kesepakatan politik pun diputuskan bersama melalui Munaslub tersebut. Termasuk komitmen Partai Golkar dalam upaya pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan narkoba. Partai Golkar memandang komitmen tersebut sebagai syarat utama yang akan menjamin terwujudnya Visi 2045 Partai Golkar.
Karena itu, sejak awal saya memprediksi kebangkitan Partai Golkar yang sudah berada di depan mata. Apalagi, dampak konflik yang memanas pada tahun-tahun sebelumnya sempat membuat partai ini terkoyak dan tercabik hingga melahirkan friksi.
Hingga pada titik tertentu, partai ini kembali dirundung masalah. Tidak tangung-tanggung, Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, yang juga sebagai simbol partai, terlibat megaskandal E-KTP dan menyandang status sebagai tersangka. Tidak hanya pucuk pimpinan Partai Golkar, sejumlah pengurus teras juga mengalami hal serupa. Sebelum operasi tangkap tangan terhadap Walikota Tegal, Sita Masitha, KPK telah menahan Fahd A Arafiq, Markus Nari serta Ridwan Mukti.
Sulit untuk memungkiri, kenyataan ini begitu getir untuk dirasakan oleh seluruh komponen kepartaian. Sebagai partai pendukung pemerintah dan telah mencalonkan Joko Widodo sebagai Presiden pada Pilpres 2019 yang akan datang, seharusnya seluruh anasir kepartaian berjalan beriringan dengan komitmen pemerintah dan mengidentifikasi dirinya sebagaimana karakter kepemimpinan Joko Widodo itu sendiri.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Berdasarkan hasil survei, identifikasi Joko Widodo belum mampu direpresentasikan oleh Partai Golkar. Karena itu pula, tingkat elektabilitas Partai Golkar pun mengalami penurunan. Sementara partai lain yang notabene belum secara resmi mencalonkan Joko Widodo sebagai Presiden, justru menuai hasil peningkatan elektabilitas yang signifikan.
Atas dasar itulah, kegelisahan memperoleh relevansinya. Ibarat ungkapan pepatah, tidak mungkin ada asap tanpa ada api. Geliat kritisisme kader muda tidak terlepas dengan kondisi kepartaian yang cenderung abai, buta dan tuli dengan kenyataan yang menderanya. Di balik diamnya mayoritas kader Partai Golkar yang sejatinya bersuara merespons kondisi partainya, kita sepatutnya berterima kasih kepada sekumpulan kader muda yang lepas dari berbagai kepentingan elitis, senantiasa menyuarakan idealismenya, meski memekakkan telinga sebagian pihak.
Entah apa yang ada dibenak para elite Partai Golkar saat ini. Kita patut mengurut dada, namun inilah kenyataan yang dihadapi oleh Partai Golkar. Dengan segelintir elite yang menutup mata dan telinga akan suara rakyat, tindakan sewenang-wenang berupa pemecatan ini sama sekali tidak mencerminkan Partai Golkar dengan "Paradigma Golkar Baru" yang diusungnya.
Sementara di lain pihak, Partai Golkar sama sekali bergeming dengan sejumlah pihak yang saat ini sudah menyandang status tersangka dan ditahan oleh penegak hukum. Apakah mereka lebih bersikap disiplin dibandingkan kader muda tersebut?
Masa lalu telah mewariskan sejarah bahwa pemecatan tidak pernah membuat partai ini berjaya. Sebaliknya, sejak era kepemimpinan Akbar Tanjung dan Aburizal Bakrie, aksi pecat-memecat justru membuat Partai Golkar semakin terpuruk. Perilaku tersebut menunjukkan Partai Golkar kembali mempraktikkan tabiat masa lalunya. Sebuah tradisi yang telah usang di era politik modern. Atas dasar itu, dengan kondisi dan situasi internal politik saat ini, rasa-rasanya kejayaan Partai Golkar hanya menyisakan harapan yang jauh dari kenyataan.
Yorrys Raweyai Ketua Koordinator Bidang Polhukam DPP Partai Golkar
(mmu/mmu)
Comments
Post a Comment