
Indonesia sebagai negara penjunjung kemanusiaan selalu berpihak pada penderitaan Rohingya. Sejak 2015 Indonesia telah menampung sekitar 12.000 warga Rohingya yang mengungsi. Pemerintah mengikuti prinsip non-refoulement meski Indonesia bukan penandatangan Konvensi Internasional mengenai Status Pengungsi 1951.
Prinsip non-refoulement melarang penolakan atas pengiriman pengungsi atau pencari suaka ke wilayah tempat kebebasan karena hidup mereka terancam oleh alasan-alasan tertentu seperti alasan ras, agama, atau kebangsaan.
Konstitusi mengamanatkan agar ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Meskipun, di sisi lain juga menetapkan adanya prinsip politik luar negeri bebas aktif. Indonesia sebagai negeri muslim terbesar sedunia sekaligus negara terbesar di ASEAN penting untuk tampil terdepan turut berkontribusi menyelesaikan tragedi Rohingya.
Catatan Konflik
Puncak konflik meletus di negara bagian Rakhine utara, Myanmar mulai 2012 antara orang Buddha Rakhine melawan Muslim Rohingya. Etnis Rohingya tidak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar.
Penduduk Rohingya adalah penganut Muslim yang berjumlah sekitar satu juta orang. Warga ini bermukim di negara bagian Rakhine bagian utara. Wilayah ini mayoritas ditempati oleh masyarakat beragama Budha. Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan dan ancaman bagi identitas mereka (Wolf, 2016). Hal ini menjadi penyebab utama ketegangan hingga konflik berdarah.
Pemerintah Myanmar sendiri tidak memiliki upaya rekonsiliasi. Kondisi buruk malah dilakukan yaitu membela kalangan Budha garis keras. Kalangan Budha sedunia konon ikut mengecam, termasuk Dalai Lama pada 2014. Dalai Lama berpesan bahwa Buddha mengajarkan cinta dan kasih sayang. Jika Buddha ada di sana, dia akan melindungi muslim dari serangan umat Buddha.
Pemimpin baru Myanmar yang juga peraih Nobel Perdamaian yaitu Aung San Suu Kyi terkesan tidak bertindak apa-apa. Kondisi ini mengindikasikan Aung merestui pembantaian. Hal ini yang dikecam dunia internasional karena jauh dari amanat Nobel Perdamaian yang sandang.
Tekanan Geopolitik
Indonesia mesti segera tampil membuktikan diri sebagai negara besar dan kuat dalam geopolitik ASEAN. Tujuan utamanya adalah sesegera mungkin menyelesaikan secara tuntas tragedi Rohingya. Tekanan geopolitik mendesak diberikan kepada Myanmar agar terdesak segera menghentikan tindakan genosida.
Desakan diplomatik dapat diberikan dengan pemanggilan duta besar Myanmar hingga memulangkannya sampai ada jaminan penghentian kekerasan. Pemerintah juga perlu meneruskan aspirasi publik dalam negeri yang menggugat agar Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dicabut.
Penggalangan dukungan internasional penting dilakukan guna memperkuat tekanan. Langkah awal adalah level ASEAN. Negara yang memungkinkan diajak memberikan tekanan adalah Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam. Selainnya memiliki konflik kepentingan karena berpenduduk mayoritas sama dengan Myanmar. Negara-negara ini dapat diminta mengikuti langkah Indonesia di depan.
Selanjutnya perlu digalang agar segera diagendakan pertemuan luar biasa negara-negara ASEAN. Pembahasannya tunggal yaitu penyelesaian masalah Rohingya. Jika diperlukan, maka penting dipersiapkan sanksi regional terhadap Myanmar. Ancaman terberat adalah pencabutan status keanggotaan ASEAN.
Penggalangan dukungan guna menekan Myanmar terus dapat dilakukan hingga level Asia dan dunia. Turki sejak awal menjadi negara Eropa pertama yang mengecam tindakan brutal Myanmar. Indonesia perlu menggandeng negeri yang dipimpin Erdogan ini.
Semua langkah geopolitik ini mesti mengangkat sentimen kemanusiaan dan bukan agama. PBB mesti didesak segera memberikan layanan dan jaminan kemanusiaan terhadap pengungsi Rohingya. Bangladesh diperkirakan menjadi tujuan utama pengungsian. Untuk itu PBB mesti segera diminta merapat memberikan bantuan kepada Bangladesh dalam menyambut dan menghidupi pengungsi. Indonesia dapat kembali membuka kemungkinan menampung sebagian pengungsi Rohingya.
Pendekatan persuasif dan diplomasi dialogis juga penting diupayakan. Keteladanan Indonesia dalam memelihara Kebhinnekaan dapat ditularkan. Mayoritas muslim di negeri ini berkomitmen menjaga dan mengayomi minoritas, termasuk umat Budha.
Upaya membujuk Myanmar dapat pula digalang justru dari negara atau otoritas Budha sendiri. Pemimpin Budha kharismatik yaitu Dalai Lama diajak lebih pro aktif dan konkret turun ke Myanmar meminta penghentian operasi pembantaian. Negara-negara mayoritas Budha juga penting diajak mengecam tindakan Myanmar.
Langkah hukum, baik individu, institusi hingga negara dapat mengajukan langkah pelaporan ke Mahkamah Internasional. PBB juga mesti didesak untuk turun menghentikan tindakan represif Myanmar.
Komitmen kemanusiaan dan kekuatan geopolitik pemerintahan Jokowi diuji dalam kasus ini. Kesuksesannya akan menjadi poin positif secara politis. Sebaliknya kegagalan atau lemahnya upaya yang dilakukan dapat menjadi blunder terkait akseptabilitas politiknya.
Ribut Lupiyanto Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
(mmu/mmu)
Comments
Post a Comment