
Seperti dilansir Reuters, Kamis (7/9/2017), informasi itu didasarkan pada wawancara Reuters dengan puluhan warga dan pemimpin komunitas Rohingya juga warga Rakhine lainnya, serta anggota militer Myanmar dan otoritas lokal di Rakhine.
Dituturkan salah satu pemimpin komunitas Rohingya yang hingga kini masih tinggal di negara bagian Rakhine, sementara semua warga Myanmar menikmati kebebasan baru di bawah pemerintahan sipil yang dipimpin Suu Kyi, minoritas muslim malah semakin terpinggirkan. Menurut pemimpin komunitas Rohingya ini, dukungan untuk militan ARSA semakin meningkat setelah operasi militer tahun lalu."Ketika pasukan keamanan datang ke desa kami, seluruh warga desa meminta maaf dan meminta mereka untuk tidak membakar rumah-rumah -- tapi mereka menembaki orang-orang yang memohon ke mereka," tuturnya.
"Orang-orang menderita karena anak laki-laki mereka dibunuh di depan mereka meskipun mereka memohon ampun, anak perempuan, saudara perempuan mereka diperkosa -- bagaimana mereka bisa hidup tanpa terus memikirkan hal itu, bahwa mereka ingin melawan, tak peduli apakah mereka mati atau tidak," imbuhnya.
Informasi ini belum bisa dikonfirmasi kebenarannya secara independen. Namun bulan lalu, laporan penyelidikan yang dipimpin mantan kepala intelijen militer Myanmar, Myint Swe, yang kini menjabat Wakil Presiden, membantah semua tudingan kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis dalam konflik di Rakhine yang pecah Oktober 2016.Warga desa dan otoritas kepolisian setempat menyebut militan Rohingya kini mulai membangun banyak sel di puluhan desa di Rakhine. Para militan Rohingya akan merekrut warga-warga desa setempat, terutama kaum muda.
"Orang-orang saling memahami perasaan satu sama lain, mereka saling mengobrol, mereka memberitahu teman atau kenalan mereka dari wilayah lain -- dan mereka meledak," tutur pemimpin komunitas Rohingya yang enggan disebut namanya.
Rohi Mullarah, tetua desa Kyee Hnoke Thee di Buthidaung, menuturkan pemimpin militan Rohingya mengirimkan pesan rutin via aplikasi chat seperti Whatsapp dan WeChat kepada pendukungnya, mendorong mereka untuk memperjuangkan kebebasan dan hak asasi mereka. Pesan-pesan itu memampukan militan Rohingya menggerakkan orang tanpa berisiko ketahuan atau ditangkap oleh militer Myanmar."Mereka utamanya mengirimkan pesan singkat kepada warga desa, mereka tidak menggerakkan orang dari satu tempat ke tempat lain," tutur Mullarah, sembari menegaskan warga di desanya memasang papan yang isinya menolak upaya rekrutmen dari militan mana saja.
Kebanyakan tetua Rohingya selama beberapa dekade menolak kekerasan dan memilih dialog dengan pemerintah Myanmar. Sedangkan militan Rohingya mulai meraup banyak dukungan, khususnya di kalangan muda. Para tetua Rohingya mengecam taktik kekerasan militan Rohingya ini.
Dalam wawancara dengan Reuters pada Maret lalu, Ata Ullah yang merupakan pemimpin kelompok militan Rohingya atau Tentara Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA) mengaitkan pembentukan kelompoknya dengan terjadinya kekerasan komunal antara warga Buddha dengan warga muslim di Rakhine tahun 2012. Saat itu, nyaris 200 orang tewas dan 140 ribu orang lainnya yang kebanyakan warga Rohingya, terpaksa mengungsi."Kami tidak bisa menyalakan lampu pada malam hari. Kami tidak bisa bepergian dari satu tempat ke tempat lain saat siang hari," tutur Ata Ullah kepada Reuters dalam pernyataan yang belum pernah dipublikasi sebelumnya. Dia merujuk pada pembatasan yang diberlakukan untuk warga Rohingya di Rakhine.
"Pos pemeriksaan ada di mana-mana: setiap titik masuk dan setiap titik keluar. Tidak seperti itu seharusnya kehidupan manusia," imbuhnya.
(nvc/ita)
Comments
Post a Comment