
Peristiwa nggak nyambung semacam ini, sebetulnya bukan pertama kali terjadi. Pada 1985, Candi Borobudur juga pernah diledakkan oleh Ibrahim alias Muhamad Jawad dan rekannya dengan motif balas dendam pada peristiwa Tanjung Priok 1984. Apakah teror kekerasan sejenis ini berfungsi? Tentu saja tidak. Sejumlah tragedi hak asasi manusia di masa lalu tetap saja tak selesai hingga hari ini.
Meskipun bertajuk aksi damai, aksi balas dendam yang nggak nyambung dan nyeleneh tetaplah berbahaya, terutama karena akar berpikir yang salah kaprah. Hanya karena mayoritas penduduk Myanmar beragama Budha, bukan berarti umat Budha harus dilabel teroris. Sama seperti umat Islam yang tak setuju dicap sebagai ISIS yang menyetujui aksi-aksi kekerasan. Beberapa peristiwa di Indonesia terdahulu membuktikan hal ini; kita tengok misalnya pada sejarah sentimen kaum Syiah.
Pada suatu ketika, memegang dan membaca buku-buku Ali Syariati adalah hal keren sekaligus kemewahan yang dapat dibanggakan mahasiswa. Saya ingat betapa bergairahnya menekuri kalimat demi kalimat dalam buku karya Ali Syariati sambil membayangkan para intelektual yang hanya bisa membeo dan mengulang-ulang teori basi, tapi tidak mampu memahami persoalan terdekat di sekitarnya dan menjadi harapan bagi permasalahan masyarakatnya.
Jika dalam Sajak Sebatang Lisong WS Rendra memunculkan istilah "penyair salon" untuk menerangkan orang berilmu sejenis itu, maka Ali Syariati menghadirkan istilah rausyan fikr. Rausyan fikr adalah simbol pemikir ideal yang mampu melawan penindasan dan merancang skema pembebasan. Buku Ali Syariati itu berjudul Tugas Cendekiawan Muslim yang diterjemahkan Amien Rais, dan Ideologi Kaum Intelektual: Sebuah Wawasan Islam yang diterjemahkan Haidar Bagir.
Beberapa tahun kemudian, saya terkaget dengan kampanye "Syiah Bukan Islam" yang didengungkan oleh elemen pergerakan Islam. Kampanye itu menyebar di media sosial, menyemarakkan seminar dengan tema sentimen anti-Syiah di kampus-kampus, di masjid perkampungan, bahkan di acara pameran buku Islam terbesar. Di sejumlah website Islam tertentu, beberapa tokoh pemikir agama Islam ternama mulai dilabel sebagai pemikir Syiah dan layak diboikot buku-buku dan seminarnya, seolah mereka adalah sosok yang begitu berbahaya.
Dina Y Sulaeman, dalam buku Salju di Aleppo bercerita bagaimana selama bertahun-tahun ia menerima cercaan, makian, serta teror hanya karena mengartikulasikan pandangannya untuk konflik Suriah. Sejarah peperangan panjang di Suriah dalam koridor masalah kerja sama ekonomi secara diplomatik dan situasi geopolitik, oleh beberapa kelompok ekstremis Islam di Timur Tengah disulap sebagai konflik antar-aliran agama, semata agar kelompok militer ekstremis itu dapat membangkitkan solidaritas kemarahan dan menjalankan misi mereka untuk merekrut para jihadis dari berbagai negara.
Sebelumnya, mereka yang menghujat Dina Sulaeman adalah pendukungnya ketika ia mengulas isu Palestina. Tapi, sikap mereka berlawanan untuk kasus Suriah disebabkan disinformasi yang mereka terima. Pada akhirnya, toh sudah banyak cerita, warga Indonesia yang berangkat ke Suriah karena dijanjikan nikmat hidup di negara "khilafah" akhirnya tertipu, sebab mereka malah dijadikan budak-budak kelompok teroris. Tapi, orang-orang di Indonesia yang terpengaruh adu domba itu telanjur terpengaruh indoktrinasi anti-syiah.
Saya tidak tahu apakah para pegiat anti-antian itu kini menyesal atau tidak akibat ekses negatif polarisasi umat yang mereka desain. Namun, ironi lain, hingga hari ini pemerintah dan kita semua masih membiarkan pengungsi Syiah Sampang terkatung-katung selama lima tahun.
Kita harus mengakui bahwa ketidakberdayaan kita untuk membela minoritas Syiah, dan minoritas lain seperti Ahmadiyah, salah satunya adalah sebab tekanan-tekanan yang berawal dari kampanye polarisasi kebhinekaan yang semula kecil, namun terus dibiarkan meluas hingga kita akhirnya ketakutan jika sikap pembelaan kelak disetarakan dengan sesat atau bukan Islam. Pada titik inilah semboyan "jangan impor persoalan kemanusiaan yang jauh ke Indonesia" menjadi penting.
Dalam sebuah aksi dan solidaritas lintas iman yang diinisiasi oleh Jamaah Kopdariyah Magelang, Bhante Abhijato dari Vihara Kompleks Candi Mendut menerangkan bahwa agama Budha seluruh dunia pun memiliki banyak sekali mazhab. Budhisme yang berkembang di Indonesia adalah aliran Budha Mahayana, yang secara tradisi lebih mirip kepada Budhisme yang berkembang di Thailand.
"Itu pun tidak semua tradisi di Thailand dapat dipraktikkan di Indonesia. Di Thailand, pemeluk Budha menghormati orang tua dan guru mereka laksana menyembah, dibuktikan dengan simbol membungkuk seperti yang kita lihat pada orang-orang Jepang. Hal semacam itu tentu tidak bisa kami praktikkan di Indonesia karena menyesuaikan dengan harmonisasi adat sekitar agar kami tidak nampak terlalu ekstrem."
Lucunya, Bhante Abhijato justru mengaku mengerti sedikit sekali tentang konflik Myanmar, sebab dalam keseharian ia tidak menonton televisi dan tidak memiliki akun sosial media. "Mosok pihak yang tidak mengerti apa-apa mau kita kepung? Wah, nikmat sekali ya hidup bhante ini. Malah tidak merasa resah seperti kami akibat kebanyakan menelan hoax sosial media," kelakar salah seorang peserta diskusi.
Saya menyebut para pejuang agama yang salah kaprah dalam logika berpikir semacam itu sebagai jihadis orak-arik campur. Ada banyak jenis logical fallacy, dua yang kerap muncul sebagai dasar kepercayaan pada hoax adalah argumentum ad populum, yakni menganggap sesuatu itu benar hanya karena banyak orang percaya, atau argumentum ad verecundiam, yakni menganggap sesuatu benar karena ada pakar atau institusi (atau, hari ini seleb media sosial) yang dianggap hebat mengatakannya.
Dua pola itu tumbuh paling subur karena biasa dianuti oleh mereka yang menganut logika kerumunan massa. Saya lagi-lagi teringat Gus Dur yang kemarin baru saja diperingati hari lahirnya bertepatan pula dengan tiga belas tahun Cak Munir Said Thalib dihabisi di udara. Gus Dur paling anti dengan logika kerumunan, apalagi jika kerumunan itu menghegemoni untuk mencabut hak-hak dasar kelompok lain.
Dalam sebuah wawancara, ketika Gus Dur ditanya mengapa mencabut cap "eks-tapol" pada mantan penyintas konflik 65, Gus Dur menjawab, "Zaman dulu Angkatan Darat berhasrat menumpas komunisme dengan menimpakan kesalahan sepenuhnya pada komunis. Akibat dari itu, 500 ribu orang terbunuh, bahkan termasuk NU juga percaya bahwa komunis adalah pelaku kudeta 1965. Tetapi kemudian diketahui terdapat kesalahan penafsiran sejarah."
Menurut pengamatan Gus Dur, ada banyak orang yang justru pindah agama Kristen karena trauma kepada umat Islam yang membunuhi keluarga mereka saat terjadi peristiwa 65. Yang artinya pula, bukan karena satu komunis bersalah, maka semua dari mereka harus menjadi korban pematian karakter.
"Jika memang melakukan kesalahan, siapapun itu harus belajar untuk rela meminta maaf," pesan Gus Dur yang dibarengi dengan pendapatnya yang terkenal, yakni, "Melarang ideologi dan pemikiran adalah sia-sia, dan itu tidak mungkin dilakukan."
Presiden pertama yang dipilih setelah Reformasi itu meneladankan pada kita agar belajar membedakan pivotal factors (akar konflik) dengan triggers (segala sesuatu yang semakin memicu api konflik). Dan, tentu strategi cerdas yang ia lakukan ketika berdiplomasi baik di Aceh maupun di Papua adalah manifestasi falsafah anti-kekerasan, yang mengajarkan kepada kita bahwa selalu ada ruang untuk berdiplomasi dalam konteks dunia demokrasi.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)
Comments
Post a Comment